Rabu, 09 Oktober 2013

Mari ke Sul-Se! Part 6

Sumber

Yeah. Sampai juga saya di kota destinasi terakhir Sulawesi Selatan Trip, Palopo. Jalan darat dariWatampone sampai sini benar-benar menguras energi. Tapi semangat jalan-jalan ria tidak boleh padam. Mandi dan rebahan sejenak, lalu mari kita keliling Palopo (alhamdulillah di kota ini klien menjamu dengan sangat ramah dan makmur. Hehe..)
Kota Palopo merupakan satu dari sedikit kotamadya di provinsi Sulawesi Selatan, di sampingMakassar dan Pare-pare. Kondisi kotanya jelas lebih besar dan ramai dari Watampone. Hotel bagus berbintang sudah ada, apalagi Planet Surf :D . Kalau Watampone berafiliasi dengan Bone, maka Palopo identik dengan kerajaan Luwu. Dari kota di sela-sela kaki huruf K pulau Sulawesi ini terkenal kisah epik Bugis La Galigo, yang kemudian disematkan jadi nama museum budaya di Fort Rotterdam.  Dari sini pula awal mula peradaban Islam di Sulawesi Selatan dimulai.
Setelah sejenak melihat Kota Palopo di malam hari, saatnya untuk mencoba kuliner khas sini..
Kapurung
Satu hal yang perlu diketahui dari warga Palopo, makanan utama mereka adalah sagu. Hmm.. mungkin fifty-fifty sama nasi sih ya. Tapi untuk masakan khasnya, berkenalanlah dengan yang satu ini.
kapurung
Tuh sagunya keliatan kenyil-kenyil. Dicampur dengan daun bayam (yang sekaligus menghadirkan warna kemerahan), irisan ayam serta ikan. Awalnya saya mengira sagunya manis seperti sagu campuran jenang, ternyata ga ada rasanya sama sekali. Harus langsunglhep kayak nasi. Sayur ama ikannya terasa enak sih, tapi lidah saya tampaknya masih butuh waktu untuk berkompromi dengan sagu. Berasa enek euy. Tapi tentunya itu selera masing-masing ya. Sip lah sudah pernah nyoba makanan yang dimakan dengan sagu :D
Lawa
Teman-teman pernah makan masakan yang bahan utamanya jantung pisang? Wuih gimana tuh ya masakannya.. Kalau belum pernah, maka icip ini deh..
lawa palopo
Namanya Lawa. Kuliner ini diolah seperti urap di daerah Jawa. Kalau di Jawa urap itu kombinasi sayuran hijau-ayam. kalau lawa di Palopo ini adalah campuran jantung pisang-ikan mentah. Walaupun ikannya mentah, tapi ga amis sih. Mungkin karena jeruk nipisnya itu ya, atau.. ah ga tau lah saya urusan masak-memasak. Yang pasti rasanya orisinil banget, asli baru pernah lidah saya mencicip rasa seperti ini. Jadi susah kan mendeskripsikan gimana rasanya.. Gimana ya…
Setidaknya (walaupun jelas terasa aneh di lidah saya yang pertama kali nyoba), selama dimakan sama nasi, saya doyan-doyan aja kok :D
Selama kulineran di Makassar ini, saya ga hanya icip Kapurung dan Lawa. Tapi juga olahan seafood nan lezat dalam Sop Ulu Juku (sop kepala ikan), ikan bakar, serta udang. Baik malam hari di RM Ulu Bale Laut maupun makan siang sehari sesudahnya di pinggir pantai Palopo (Teluk Bone), semua olahan seafoodnya yahud! Beberapa lezat, beberapa “berkesan”.. ahaha…
Siip, Palopo! Thanks masakannya :)
Masjid Tua Palopo
Sebelum bertolak kembali ke Makassar dan pulang ke Jakarta, saya menyempatkan sholat dhuhur di masjid yang punya arti begitu penting bagi Palopo serta Sulawesi Selatan. Masjid Tua Palopo.
Disebut masjid tua karena memang sudah dibangun bahkan saat kompeni belum menancapkan kuku di Indonesia, yakni tahun 1604. Raja Luwu merupakan raja yang mula-mula menganut agama Islam di ranah Sulawesi, hasil dakwah para pedagang muslim dari Sumatera. Sang raja kemudian berinisiatif mendirikan masjid di dekat istana. Proses pendirian masjid ini pula yang menjadi asal mula nama Palopo. Palo’po : memasukkan pasak ke tiang bangunan. Tiang bangunan apa? Tak lain ya tiang penyangga masjid tua ini :)
masjid tua palopo 1
Masjid yang konon punya unsur akulturasi Bugis-Jawa-Hindu-Islam ini terlihat sangat klasik. Mungkin memang sengaja dirawat sesuai bentuk aslinya dahulu ya. Bagian dalamnya tak terlalu besar, mungkin ga lebih dari 15 x 15 meter. Bujur sangkar sempurna, menandakan keseimbangan dan kesetaraan untuk siapapun yang masuk di dalamnya. Dinding masjidnya dari batu yang tebel banget, ada 1 meter kali ya, penanda keimanan yang mesti kuat. Pada tiap jendela ada 5 terali besi vertikal yang melambangkan sholat 5 waktu. Ada banyak deh  geometri-geometri filosofis kalau membahas arsitektur klasik. Bahkan ada penanda “Skhema Oekoeran Masdjid Djami’ Toea Palopo-Loewoe” di tempat sholat satu ini :D
masjid tua palopo 5
Penampakan interior yang sangat klasik ya. Siapa sangka dari masjid tua nan kecil ini, Islam berkembang pesat. Kerajaan Luwu (Palopo), Gowa-Tallo (Makassar), lalu Bosowa (Bone-Soppeng-Wadjo). Menyinari bumi Sulawesi Selatan. Laa haula wa laa quwwata illa billah…
Kembali ke Makassar
Usai sholat di Masjid Tua, kunjungan ke Palopo pun segera berakhir. Sebenarnya akan sangat menyenangkan bila bisa lanjut mampir berwisata ke tempat masyhur yang berjarak hanya 61 km (< 2 jam perjalanan) dari Palopo, Tana Toraja. Siapa sih yang ga tertarik dengan keunikan rumah adat Tongkonan, upacara mayat berjalan dan pemakaman Lemo di sana. Langka sekali kalau sekarang dan pas bisa liat mayat berjalan (walau agak horor juga sih.. hehe).
Atau tak jauh dari Palopo ada kota Sorowako, tempat bijih besi skala makro. Menariknya? Dari situlah nama Sulawesi berasal. Sula : pulau, Wesi : Besi. Tapi kembali dan kembali lagi, bukan dalam mode “full wisata”. Arrgghh… Gapapa, insya Allah lain waktu bisa berkunjung lagi ke tempat-tempat yang sangat menarik di Sulawesi Selatan.
Perjalanan darat yang lebih melelahkan telah menanti. Minimal 400 km atau 8 jam perjalanan darat mesti ditempuh dari Palopo menuju Makassar. Walau jalanan yang akan dilewati (rute Palopo-Parepare-Makassar) relatif lebih lurus dan halus dibanding rute sebelumnya (Maros-Watampone-Palopo), tapi tetap saja harus siap ajeb-ajeb di mobil (jalan bergelombang). Ahaha. Dinikmati aja lah ya, sambil membayangkan mborong oleh-oleh khas di Somba Opu esok hari. Sari markisa.. minyak tawon… kacang disko.. kopi toraja… Hmm…
*mobil mulai dipacu kencang oleh pak sopir. jam-jam perjalanan panjang yang mesti dinikmati sebelum terkontaminasi lagi oleh hiruk pikuk Jakarta. smiileee*
Terima kasih Sulawesi Selatan!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar